Sunday, February 25, 2018

Asal-usul nama MI Merasugun Asso dan Sejarah Masuknya Islam ke Walesi, Kab. Jayawijaya (wamena)

Malam ni gak tau kenapa iseng bongkar-bongkar penelusuran di mbah google dengan kata kunci "walesi". Pada halaman ke 17 akhirnya nemu artikel menarik dengan judul "Sejarah Muslim di Wamena Papua". Dan yang paling bikin aku betah baca artikel panjang itu (tentang sejarah pula) adalah adanya kisah awal muslim di walesi.

Buat yang belum sempat baca postingan sebelum2nya, aku pernah mengajar di MI Merasugun Asso yang terletak di distrik Walesi selama setahun sebagai guru kelas melalui program kemendikbud dan kemenristekdikti "SM-3T". 

Aku bakal repost ulang artikel tersebut di blog aku sendiri. Belum izin sih sebenarnya, tapi tenang aja, aku tetap bakal cantumin link-nya. Sile dicek Di sini yaaa ^^

* * *

Dalam berbagai laporan para ahli, Agama Islam duluan masuk di Tanah Papua dan dianut oleh penduduk pribumi Papua. Van der Leeder  (1980, 22), Islam masuk di kepulauan Raja Ampat pengaruh dari kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut masuk di Maluku pada abad ke 13 silam.  Dr. J. R
. Mansoben (1997), ‘Agama besar pertama yang masuk ke Irian Jaya (Papua) adalah Islam. Agama Islam masuk di Irian Jaya  (Papua) pertama didaerah Kepulauan Raja Ampat dan Fak-Fak berasal dari Kepulauan Maluku dan disebarkan melalui hubungan perdagangan yang terjadi diantara kedua daerah tersebut’. [1].


Tidak mengherankan bila, ‘kedatangan Missionaris Kristen pertama justeru diantar oleh Muballiqh Islam dari Kerajaan Tidore pada tanggal 5 Pebruari 1855 disebuah Pulau Kecil Mansinam diperaiaran Manokwari. Dua Missionaris dari Jerman itu adalah C. W. Ottow dan G. J. Geissler’.[2].  

Wilayah Selatan Kepala Burung Papua penduduknya dijumpai penganut Islam sejak lama, Daerah itu meliputi wilayah : Kaimana, Fak-Fak, Bintuni, Kokoda (Sorong Selatan) dan Kepulauan Raja Ampat. Sekarang banyak urban, diakui, Dr. Benny Giay, ‘pengaruh Islam secara  luas diseluruh pelosok daerah Propinsi Irian Jaya dan dengan semua kelompok suku di daerah ini dalam hidup sehari-hari dalam semua bidang kehidupan, baru mulai dirasakan setelah Irian Jaya berintegrasi menjadi bagian dari Republik Indonesia awal tahun 1960-an’.[3].

Penting dicatat disini bahwa pemeluk Islam terbatas dikalangan urban, tanpa usaha penyebaran ke penduduk asli. Kecuali sedikit pemeluk baru (muallaf) Suku Dani, di Baliem Selatan, dibina oleh Yapis (Yayasan Pendidikan Islam) demikian dilaporkan oleh JR. Mansoben, seorang antropolog utama Papua.

KHUSUS

2.      Muslim Suku Dani Wamena
Interaksi Agama Islam dikalangan Suku Dani Jayawi Jaya, terjadi pasca integrasi kedalam NKRI pada dekade 1960-an akhir, melalui guru-guru dan transmigrasi yang didatangkan dari Jawa didaerah Sinata.Pengenalan agama islam di Wamena melalui interaksi perdagangan antara para pendatang dan penduduk pribumi. Islam di Wamena tidak didorong oleh organisasi da’wah islam. Pendirian SD Impres Megapura pertama di Wamena, berdampak pada perkenalan orang, Palim Lembah dengan Agama Islam melalui para guru dan transmigrasi Jawa-Madura secara alamiah. Para guru dari Jawa-Madura dan transmigran ---yang pada akhirnya dipindahkan ke daerah Paniai tahun 1970-an ---menyisakan pengaruh bagi Suku Dani terutama anak-anak siswa SD Impres Megapura.

Kemudian hubungan secara lebih intensif ---sampai dengan sekarang,---melalui para urban dari  Indonesia Sulawesi, Madura, Jawa dan Maluku.  Disamping itu beberapa pegawai misalnya Kolonel  Thahir (Tentara), Abu Yamin, (Polisi) Hasan Panjaitan (Sekda) dan Paiyen (Depag RI) turut turut  mendorong proses da’wah di Walesi. Suku Dani Palim Tengah dan Palim Selatan dari Moiety : Asso-Lokowal Asso-Wetipo, Lani-Wetapo, Wuka-wetapo, Wuka-Hubi, Lagowan-Matuan dan Walesi, kini banyak yang sudah memeluk agama Islam Dari sejumlah sumber saksi penduduk bahwa Esogalib Lokowal orang paling pertama masuk Islam. Kemudian Harun Asso (dari Hitigima/Wesapot), Yasa Asso (dari Hepuba/Wiaima), Horopalek Lokowal, Musa Asso (dari Megapura/Sinata), Donatus Lani (dari Lanitapo).[4]. Megapura, Hitigima, Hepuba, Woma, Pugima dan Walesi (kini di Walesi clan Asso-Yelipele seluruh warganya 100% beragama Islam) adalah daerah pertama yang berinteraksi dengan orang Muslim dari berbagai daerah Indonesia.

Muhammad Ali Wetipo, pernah bercerita pada penulis bahwa dia masuk  Islam melalui orang pendatang di Kota Wamena dan pernah tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyyah Abepura Jayapura. Dalam tahun 1978 akhir Panti Asuhan Muhammadiyyah Abepura Jayapura banyak menampung anak-anak muslim dari Wamena.[5]. Ilham Walelo dan Abdul Mu’in Itlay dari Panti Asuhan Muhammadiyah, tamat SMA tahun 1979, kemudian melanjutkan studynya di IAIN Jakarta (kini UIN).[6]

2.      Muslim Walesi

Berbeda dengan daerah lain di Lembah Balim. Walesi pada tahun 1975-1977 Merasugun, Firdaus  dan Muhammad Ali Asso, adalah generasi pertama memeluk agama Islam. Mereka adalah pemeluk Islam paling berhasil mengembangkan Islam menjadi besar. Walesi kini menjadi pusat Islam (Islamic Centre) di Lembah Palim Wamena. Merasugun dan tokoh-tokoh Tua lainnya yang didampangi  kalangan muda Walesi adalah generasi muslim pertama yang bersemangat mengorganisasi diri serta sukses mengembangkan agama Islam dikalangan keluarga di Walesi dan sekitarnya.

Merasugun, Firdaus dan Ali Asso mengorganir da’wah islam, sehingga diikuti oleh semua masyarakat dari confederasi Asso-Yelipele Walesi. Orang pertama memeluk agama Islam dari Walesi diantaranya tersebut nama; Nyasuok Asso, Walekmeke Asso, Nyapalogo Kuan, Wurusugi Lani, Heletok Yelipele, Aropeimake Yaleget, dan Udin Asso.  Keislaman mereka ini dikemudian hari memiliki pengaruh sangat besar eksistensi Islam Walesi dan Muslim Jayawi Jaya hingga kini. Kepala Suku Besar, Aipon Asso dan Tauluk Asso awalnya menolak islam, karena ajarannya mengharamkan babi (hewan ternak satu-satunya di Lembah Balim paling utama). Mereka baru masuk Islam dalam tahun 1978 dan mendapat dukungan seorang militer berpangkat Kolonel bernama Muhammad Thohir.[7]

Islamic Centre adalah organisasi khusus dan fokus untuk memperhatikan kaum muslim pribumi didirikan pada tahun 1978. Letnan Kolonel Dokte Muhammad Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10, Hamadi Jayapura, pencetus dan pelopor utama berdirinya Islamic Centre. Pada mulanya dia datang ke Wamena dalam kesempatan undangan ceramah setelah berjumpa dengan penduduk asli muslim (muallaf) dari Walesi, tergerak hatinya dan mendirikan organisasi da’wah Islam pertama, Islamic Centre yang di ketuai Hasan Panjaitan, (Sekda Jayawi Jaya kala itu). Islamic Centre dibawah kendali Hasan Panjaitan banyak membantu proses da’wah selanjutnya. Islam di Walesi berkembang pesat dan dikunjungi berbagai kalangan pejabat pemerintah muslim dari Kota Wamena dan Ibukota Jayapura.[8]

3.      Kepeloporan Firdaus Asso

Merasun Asso (berikutnya hanya ditulis Merasugun) adalah orang Walesi pertama dan yang paling awal memeluk agama Islam. Merasugun (harusnya Merawesugun), juga paling besar jasanya dan perjuangannya memperkenalkan Islam dikalangan masyarakat Walesi dan memperjuangkankannya menjadi besar. Kemudian orang selain Merasugun yang tidak kalah peran dan jasanya, dalam mengembangkan agama Islam di Walesi adalah Kalegenye Yaleget.

Kalegenye Yaleget belum pernah menanggalkan busana kotekanya, dan secara formal belum pernah bersyahadat, namun peran dan perjuangan demi tegaknya kalimat tauhid di Lembah Palim sangat besar, sejak dini agama Islam dalam keadaan sulit dan banyak ditentang orang agar jangan berkembang. Kepeloporan Merasugun sulit dibayangkan dan ketahui, kalau dibelakangnya juga tanpa ada dukungan sejumlah kepala suku Adat. Hal itu kunci kesuksesan sekaligus membuat orang tidak berani menentang Merasugun dan Kalegenye. Kalegenye dan Merasugun yang masih saudara sepupu adalah tokoh tua pejuang da’wah islam pertama dan utama di Walesi.

Merasugun dan Kalegenye Yaleget yang tidak dapat berbahasa Indonesia selalu didampingi oleh seorang pemuda bernama Firdaus Asso. Setiap penyampaian isi hati mereka dalam mencari dukungan da’wah Islam, pada para pendatang muslim, diterjemahkan oleh Firdaus. Disamping itu Firdaus adalah seorang pemuda cerdas dan lincah diantara teman-teman sebaya. Sehingga Firdaus sangat menunjang Merasugun, dalam memperjuangkan da’wah di Jayawi jaya dan khususnya di Lembah Palim.

Selain mendampingi Merasugun Asso, dengan inisiatif sendiri, Firdaus, mengajak teman-teman sebayanya, menemui para pejabat beragama Islam kala itu, untuk minta dukungan pengembangan Islam di Walesi dan Wamena. Karena itu Firdaus, sosok pemuda pejuang Islam yang populer dan sangat dikenal para pejabat tinggi Papua mulai dari Gubernur, Pangdam,
Kapolda, sampai para pejabat dinas lainnya.

Demikian juga ketokohan Firdaus Asso, sebagai tokoh muda Muslim Papua didukung para pedagang (pengusaha) muslim dari Bugis dan Makasar. Bahkan para Haji kaya dari Madura, Bugis,  Makasar dan Buton membantu mendorong secara financial pengembangan Islam Walesi sebagai  Pusat Islam Wamena. Karena itu sosok Firdaus Asso yang fenomenal, pada tahun 1980- an sangat dikenal dan popular dikalangan muslim pendatang, dan orang yang paling dihormati, sebagai tokoh penggerak dan perintis da’wah islamiyyah dikalangan pendududk pribumi Papua.

Selain Firdaus ada tokoh muda lain seperti Ali Asso. Namun Firdaus Asso adalah tokoh muda muslim di Jayapura dan Wamena yang sangat dikenal akrab oleh para pejabat tinggi  Papua kala itu. Firdaus juga disegani dan dihormati oleh rekan-rekanya, karena keberanian dan kepeloporannya dalam pengembangan da’wah Islam di Jayawi Jaya.

4.      Kisah Islam Merasugun

Konon kisahnya; ke-Islaman Merasugun Asso, sebagaimana diceriterakan Ali Asso (generasi pemeluk Islam pertama yang masih hidup), melalui hubungan perdagangan. Merasugun suatu pagi dalam tahun 1975, berangkat dari Walesi (sekitar 8 km dari kota Wamena), membawa dagangan kayu bakar, untuk dijual pada orang-orang pendatang di kota Wamena. Tapi dagangannya tidak  laku dibeli hingga hari sudah menjelang sore. Sementara jarak Walesi-Kota Wamena begitu jauh untuk pulang hingga larut malam.

Maka Merasugun berinisiatif menukar dagangannya dengan nasi pada seseorang. Untuk itu Merasugun mendatangi semua penghuni rumah dari pintu kepintu yang umumnya didiami para pendatang dari luar Papua. Akhirnya pembeli yang akan menukar dagangan Merasugun dengan nasi itu ketemu juga. Pertemuan Merasugun dan pembeli kayu itu  kelak nanti orang yang pertama meng-Islam-kan Merasugun. Karena itu segera setelah pulang ke kampungnya, Merasugun cari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan nasi pada orang yang sama.

Merasugun kemudian mengajak dua anak muda yaitu Firdaus Asso dan Ali Asso.[9]. Selanjutnya rombongan Merasugun, bawa kayu bakar untuk barter dengan nasi pada pendatang asal Madura itu, yang sebelumnya sudah berkenalan dengan Merasugun. Dari pertemuan pertama mereka sudah saling kenal, maka mereka  shalat dhuhur tiba pembeli kayu yang beragama Islam itu ingin shalat dahulu.

Tapi apa yang dilakukan kenalannya diintip Merasugun dengan perasaan aneh dan asing. Merasugun memperhatikan apa yang dilakukan kenalannya rasa penasaran. Pembeli kayu itu melakukan gerakan yang sebelumnya asing bagi Merasugun yaitu sholat dan berdo’a dengan gerakan khusyu’. Merasugun dengan perasaan agak keheranan akhirnya menyadari, bahwa gerakan itu adalah gerakan “Misa dalam Islam”. Kemudian, Merasugun, kepada dua anak muda yang mendapinginya dalam bahasa Balim berkomentar demikian : “O..oh.yire esilam meke”!, artinya “Oh, ini orang Islam"!

 Merasugun sebelumnya pernah dengar kabar bahwa Agama Islam adalah agama yang tidak boleh makan daging babi. Bahkan Merasugun sering mendengar issu bahwa kehadiran orang- orang pendatang Muslim menyebabkan semua babi menjadi musnah di Lembah Balim, (dalam agama Islam, memakan gading Babi hukumnya diharamkan /tidak boleh).[10]. Walaupun ada issu bahaya agama Islam, Merasugun menyuruh Firdaus Asso dan Ali Asso masuk agama islam, dan belajar melakukan "misa Islam”[11], (maksudnya sholat). Karena menurutnya orang Muslim Madura itu baik, tidak seperti diisukan orang-orang dikampungnya. Lalu katanya; “Kalian boleh masuk Agama Islam karena orang ini baik”! Keinginan dan usulan Merasugun disetujui dua anak yang masih keponakannya itu.[12].

Kemudian usulan keinginan diterjemahkan Firdaus dan disampaikan kepada kenalan baru itu. Mereka bertekad mau masuk Agama Islam. Tapi orang Madura itu keberatan karena alasannya takut ada tuduhan Islamisasi. Kekhawatiran itu disanggah oleh Merasugun dengan mengatakan bahwa dirinya tidak menganut agama apapun dan itu adalah keinginan hatinya dan dua anak keponakannya. Dialog tersebut diterjemahkan oleh Firdaus Asso, yang sudah lancar berbahasa Indonesia.

 Sejenak Orang Madura yang belum dikenal namanya hingga kini itu berfikir, lalu menatap wajah ketiga orang yang masih lugu dan masih mengenakan koteka itu. Dan katanya; “Boleh, tapi kamu harus menutup Aurat!”, Segera ia kekamar dan memberikan serta memakaikan Merasugun celana tanpa menanggalkan koteka yang sedang dikenakan. Selanjutnya Muslim Madura itu sampaikan niat tiga orang Suku Dani dari Walesi ini kepada tokoh muslim lain yang ada di sekitar kota Wamena.

Pada minggu berikutnya Merasugun, Ali Asso, dan Firdaus Asso disuruh datang pada hari Jum'at. Dan secara resmi disyahadatkan ba'dah jum'at di masjid Baiturrahman Wamena yang disaksikan oleh jama'ah sholat jum’at. Minggu-minggu selanjutnya Merasugun, Firdaus Asso dan Ali Asso (dua pemuda ini kelak pejuang Islam setelah sepeninggal Merasugun tahun yang wafat tahun 1978), selalu datang ikut sholat Jum’at, dengan tiap pagi jalan kaki turun-naik gunung sekitar 6 km dari Walesi ke Wamena Kota. Merasugun kira-kira berusia 45 tahun dan dua anak muda yakni Firdaus Asso,dan Muhammad Ali Asso, keduanya kira-kira berusia 15 tahun kala itu, adalah generasi pertama yang mula-mula masuk Islam serta mengembangkan Islam di Walesi.

a.      Perjuangan Merasugun Asso

Merasugun tidak lama sesudah masuk Agama Islam meminta agar dibangunkan "Gereja Islam", (maksudnya, Masjid), di kampungnya di Walesi sekaligus Sekolah Islam agar anak-anaknya dari clan Assolipele Walesi bisa sekolah. Untuk maksud ini Merasugun menyediakan tanah wakaf serta menyiapkan batu, kayu, pasir di kampungnya.

Usulan ini segera disetujui oleh beberapa orang muslim yang datang di Wamena sebagai Petugas pemerintah sipil maupun militer seperti Pak Paijen dari Dinas Agama, Pak Thohir dari Kodim, dan Abu Yamin dari Polres Jayawijaya. Karena itu, sebelum kalau ingin dibangunkan Masjid dan Madrasah di Walesi, Merasugun harus datang membantu bekerja mengangkat batu dan mengumpulkan pasir dari Kali Uwe karena Masjid Raya Baiturahman Kota Wamena saat itu sedang dibangun.

Syarat ini disetujui oleh Merasugun, berikutnya Merasugun, Ali dan Firdaus Asso pulang ke Walesi dan mengundang segera tenaga kerja kepada Nyasuok Asso, Nyapalogo Kuan, Aropemake Yaleget, Wurusugi Lani, Udin Asso dan Walekmeke Asso, untuk mengeruk galian batu dan pasir di sekitar Kota Wamena, dari Kali Uwe. Keenam orang nama tersebut kelak menjadi pemeluk Agama Islam dari Walesi gelombang kedua.[13]


b.      Dokter Mulya Tarmidzi Mengkhitan

Suatu ketika dalam tahun 1978 seorang dokter Kolonel Angkatan Laut 10 dari Hamadi, Jayapura Propinsi Papua, diundang ceramah datang ke Kabupaten Jayawijaya, untuk memberikan ceramah, yang tempatnya di gedung bioskop kota Wamena. Oleh sebab itu Merasugun dan warga lainnya dari Walesi yang muallaf diundang datang mendengarkan ceramah.

Penceramah yang tidak lain adalah Dokter Kolonel H. Muhammad Mulya Tarmidzi itu selesai ceramah sampai sekitar jam sebelas malam. Selanjutnya ia menginap di Hotel Balim. Kira-kira pada jam 12 tengah malam Merasugun, Firdaus Asso, Nyapalogo Kuan, Nyasuok Asso dan Ali Asso, Aropemake Yaleget, Udin Asso dan Wurusugi Lani datang mengetuk pintu kamar Dokter Mulya menginap dengan mengucap salam khas muslim yakni; : “Assaiamu'ataikum”! Walaupun sudah tengah malam karena mendengar ucapan salam khas Muslim, Dokter Mulya Tarmidzi, berani membukakan pintu.

Dan ternyata salam itu berasal dari orang-orang yang masih mengenakan koteka ini adalah orang yang tadi dilihatnya di gedung Bioskop. Dia sebelumnya menduga mereka bukan muslim, karena Merasugun dan rombangan lainnya masih mengenakan Holim/Koteka, (kecuali Firdaus Asso sudah mengenakan celana pendek). Dan dia menganggap bahwa mereka mungkin pas lagi lewat atau memang sekedar mencari makanan dalam acara ceramah itu.  Tatkala dipersilahkan duduk diruang tamu di hotel oleh Dokter Mulya Tarmidzi, Merasugun menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya dengan beberapa pemuda dari Walesi. Setelah minta maaf karena datang ditengah malam. Lalu Merasugun menyampaikan beberapa usulan yaitu  :

 a).  Permohonan dukungan agar di kampungnya segera dibangunkan "Gereja Islam”.
 b).  Anak-anak dari Walesi kelak menjadi pintar seperti dokter Mulya untuk itu perlu        
       disekolahkan di Jayapura
 c).  Agar di Walesi di bangunkan Madrasah

Semua usulan diterima dan disetujui secara baik dan kepada Merasugun dijanjikan oleh dokter Mulia Tarmidzi, bahwa nanti akan diusahakan secara bertahap dengan mengkoordinasikan usulan Merasugun, kepada orang-orang Muslim lain terlebih dahulu. Dalam kesempatan itu sejumlah usul dan keinginan Merasugun semua disampaikan dalam bahasa Wamena kepada Dokter Muhammad Mulya Tarmidzi, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Firdaus Asso yang sudah sekolah di SD Inpres, Megapura sehingga sudah lancar berbahasa Indonesia.

Selanjuntnya semua usul secara baik disetujui oleh Dokter Kolonel Haji Muhammad Mulya Tarmidzi dan untuk mendukung keinginan Merasugun ini segera dibentuk Islamic Centre yang pengurusnya dari pejabat pemda. Esok harinya dibantu oleh tenaga kesehatan dari Rumah Sakit Kota Wamena; Letnan Kolonel Muhammad Mulya Tarmidzi, segera menyunat (khitan) 8 orang pertama yang masuk Agama Islam itu untuk menyempurakan syahdatnya; kira-kira demikian hemat Kolonel yang juga Dokter dan Ahli Agama Islam itu. Pada bulan berikutanya dalam tahun 1978, anak-anak dari Walesi sebanyak 5 orang (termasuk Firdaus Asso dan Muhammad Ali Asso) di kirim ke Jayapura dan dititipkan kepada beberapa orang pejabat muslim sebagai orang tua asuhnya.

Demikian sudah harapan dan cita-cita Merasugun terkabul agar anak-anak dari Walesi untuk disekolahkan diluar Wamena. “Agar kelak ada yang menjadi seperti Dokter Mulya Tarmidzi,” demikian usul Merasugun yang diterjemahkan oleh Firdaus Asso. Usulan paling penting diantaranya yang diusulkan oleh Merasugun adalah kontruksi bangunan model Pondok Pesantren Model di Jawa yang membuat decak kagum. Dokter Kolonel Muhammad Mulya Tarmidzi, mengingat Merasugun belum penah tahu kalau yang diusulkannya itu adalah persis sama model kontruksi dan sistem bangunan lingkungan Pondok Pesantren yang biasa ada di Pulau Jawa. [14]

Kemudian 20 orang dalam bulan berikutnya dikirim dan diasuh oleh beberapa Orang Tua Asuh di kota Jayapura. Ongkos pengiriman semua ditanggung oleh Haji Saddiq Ismail, (kala itu Kabulog Propinsi Irian Jaya) yang selanjutnya membentuk Kasub Dolog Jayawijaya guna mempermudah menyampaikan bantauan logistik dan bantuan material lainnya karena di Walesisegera akan dibangun Masjid dan Madrasah sesuai keinginan dan usulan Merasugun dulu.

Guna memperlancar transportasi dan memudahkan pengangkutan material bangunan Masjid dan Madrasah Walesi, Ir. Haji Azhari Romuson, Kepala PU Propinsi Papua segera membangun jalan Walesi-Wamena sekitar 6 Km. Bisa dibayangkan semua usulan Merasugun dulu sejak Dokter Kolonel Angkatan Laut Muhammad Mulya Tarmidzi, Haji Saddiq Ismail SH Kadolog Propinsi, dan Ir.  Haji Azhari Romusan dari PU Propinsi adalah cukup besar perannya perkembangan Islam lebih lanjut di Walesi.

Bertepatan dengan 20 anak Walesi yang dipimpin Firdaus Asso datang sekolah di Jayapura melanjutkan dipendidikan Panti Asuhan Muhammadiyah Abepura Jayapura dan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Kota Propinsi Papua. Dua Kepala Suku Perang yang Berani dari Clan Assolipele secara resmi disyahatkan oleh Kolonel Thahir, di Wamena. Kolonel Thahir adalah Pendatang dari Bugis dan Tentara yang saat itu bertugas di Kodim Jayawijaya.[15] “Sesungguhnya kita adalah milik Allah SWT, dan akan dikembalikan kehadirat-Nya kapan saja dikehendaki-Nya”, “sebagaimana juga Dia memberikan hidayah kepada siapa yang di kehendaki-Nya”, dan akhimya pada tahun 1980 Merasugun telah dipanggil kehadirat Alloh SWT, dengan meninggalkan semua usulan da'wahnya yang belum tuntas, yakni obsesinya mewujudkan kompleks Islamic Centre terutama Masjid dan Madrasah.

Dua tahun sepeninggal Merasugun pada tahun 1982 bangunan sekolah (Madrasah Ibtidaiyah) dan masjid selesai. Untuk menghormati atas jasa-jasa semangat perjuangan Merasugun, maka nama Madrasahnya diabadikan menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Demikian juga dengan Pemuda Firdaus Asso menyusul dipanggil Allah SWT untuk selamanya pada tahun 1984 di Jayapura. Firdaus Asso yang sangat berjasa dan berperan besar pengembangkan Islam dikalangan suku pribumi di Walesi, sesudah Merasugun. Dia menyusul kepergian Merasugun setelah dua tahun dalam usia yang sangat muda dan produktif yakni 25 tahun.[16]


B.     Perkembangan Islam Masa Kini

1.      Muslim Wamena

Dari sejak tahun 1960-an akhir sampai tahun 1970-an awal, di kota Wamena Kabupaten Jayawijaya banyak datang penduduk pindahan dari Jawa (transmigrasi), dan para perantau asal Indonesia Timur, terutama orang Madura, Bugis, Buton dan Makasar. Pengenalan Agama Islam lebih intensif dengan Suku Dani di Wamena Kabupaten Jayawijaya melalui interaksi dalam masa ini, terutama perdagangan system barter antara para muhajirin pendatang dan penduduk lokal yang berbusana koteka.

Proses percepatan da'wah di Jayawijaya juga sangat di dukung oleh kehadiran militer yang beragama Islam yang bertugas dalam tahun 1960-an akhir di Kota Wamena. Penduduk yang lebih awal masuk Islam menuturkan bahwa Islamisasi sepenuhnya didukung secara individu dari Muslim yang kebetulan anggota Militert yang bertugas di Sinata (kini Megapura, 4 km selatan dari Kota Wamena). Organisasi da'wah baru didirikan guna lebih menunjang psoses da'wah, seperti Islamic center, YAPIS, Panti Asuhan Muhammadiyah dan akhir-akhir ini juga Hidayatullah dan NU di Wamena giat  melakukan da'wah dikalangan pribumi Muslim Suku Dani di Wamena.


2.      Muallaf di Walesi

Di kota Wamena arah selatan 6 km kini terdapat penduduk pribumi yang penduduknya beragama Islam sejak lama. Walesi adalah pusat Islam (Islamic Centre), bagi pengembangan Islam dari kalangan penduduk asli. Guru-guru (ustadz), sejak awal didatangkan dari Fak-Fak yang sejak lebih dulu muslim dari abad ke 16 di selatan kepala Burung Papua. Kini di walesi terdapat sebuah Pondok-Pesantren Al-Istiqomah Merasugun Asso, Madrasah Ibtidaiyah, rumah guru 4 buah,  masjid 12x12 dan sebuah puskesmas. Walesi sebagai Islamic Centre telah menampung anak-anak Suku Dani dari 12 kampung yang masyarakatnya baragama Islam.

Masyarakat Muslim Jayawijaya terdiri dari 12 kampung yang penduduknya telah lama menganut Agama Islam pada tahun 1960-an akhir pasca integrasi. Kampung-kampung itu adalah Htigima, Air  Garam, Okilik, Apenas, Ibele, Araboda, Jagara, Megapura, Pasema, Mapenduma, Kurulu dan Pugima. Jumlah penganut Islam di Wamena kabupaten Jayawijaya kira-kira 12 ribu jiwa, dari 400 ribu jiwa seluruh penduduk Jayawijaya, namun angka yang lebih tepatjumlah pemeluk Islam belum diperoleh secara pasti.

  
3.      Anak-Anak Muallaf


Anak-anak Muallaf adalah kelompak potensial proses Islamisasi di Kabupaten Jayawijaya, mengingat semua agama besar yang kini hadir di Papua khususnya di Pegunungan Tengah, umumnya tidak mampu merubah pola kehidupan lama masyarakat tradisional Papua yang memiliki religi lama yang berorientasi masa lampau.

Kalangan Birokrat Muslim yang menjabat sebagai Ketua Islamic Centre menyadari ini, maka secara  periode mengirim anak-anak muallaf dari Suku Dani, dikirim belajar pertama di Panti Asuhan Muhammadiyah AB Jayapura dan Madarasah Ibtidaiyyah YAPIS di Ibu kota Jayapura dalam tahun 1972 sebanyak 20 orang anak.

Dalam tahun 1980 ada 2 orang anak Suku Dani datang belajar di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta . Sedang lulusan Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi sebanyak 4 orang pertama didatangkan ke pondok pesantren Al-Mukhlisin, dan Darul Falah, Bogor. Kini dari anak-anak ini ada yang menempuh pendidikan di berbagai universitas Islam Bogor (Ibnu Kholdun), UMJ dan UIN Ciputat.

Saat ini tiga orang dari Walesi menempuh S2 konsentrasi di study Islam dan Otonomi Khusus UMJ Ciputat Jakarta. Dua orang lain lagi di UM Jogjakarta dan UIN di kota yang sama. Jumlah seluruhnya anak-anak Muallaf asal Suku Dani dari Papua kini tersebar di berbagai kota study di Pulau Jawa dan mayoritas di Ciputat berjumlah 21 orang. Sedang anak-anak Muallaf yang belajar di pondok pesantren sebanyak 45 orang yang sudah terdata. Jumlah ini tidak termasuk anak-anak yang dibawa koordinasi Ustadz Aliyuddin sejak tahun 1990-an awal berkisar 700 orang dari seluruh Papua.


4.      Pengiriman anak-anak Suku dani Pondok Pesantren

Sejak tahun 1980 anak-anak muslimah dari kalangan Muallaf Dari Kabupaten Jayawijaya, sudah mengirim sebagai peserta MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur'an dan lomba Qosidah tingkat Nasional mewakili Propinsi Irianjaya (kini Papua). Mereka mempunyai bakat dan potensi yang sama dengan anak-anak prianya. Namun yang menjadi masalah adalah tradisi yang bahwa: Orang Tua Suku Dani tidak dapat membiarkan anak- anak perempuan mereka pergi jauh. Tampak dari kurangnya kesadaran Orang Tua Suku Dani di Wamena saat ini adalah denagn mengawinkan anak-anak usia sekolah yang masih belasan tahun.

Sampai dewasa ini dari 20 anak perempuan muslimah Suku Dani belajar di SMU Yapis Wamena. Dari Wamena Muslim, kaum perempuannya belum ada yang belajar keluar sebagaimana umumnya anak laki-laki. Mereka kini banyak belajar agama di Pesantren Al- Istiqomah Walesi dan beberapa orang melanjutkan tingakat lanjutan (SMP/SMU) di YAPIS Wamena.

Sumber : SUARA MUSLIM PAPUA


***
Sebagai tambahan dari aku juga agar artikel ini lebih up to date, jadi sekarang ini muslimah wamena sudah lumayan banyak yang melanjutkan sekolah keluar Wamena. Ada yang sekolah di Jayapura, ada yang sekolah di Batam, bahkan ada yang sedang melanjutkan studi S2 di Malang. Keren kan. Ini menunjukkan bahwa telah berkembangnya peradaban di Papua, khususnya muslimah wamena. 

Thursday, February 22, 2018

Review: Titanic 2 - Jack's Back (Trailer)

What?!!!

Jack's Back?!!!

Aku rasa gak ada satu orang pun yang gak tau film Titanic. Film terbaik di jamannya (1997) bahkan rasanya sampai hari ini. Dan termasuk Film Sepanjang Masa, karna sampai saat ini masih dinikmati banyak orang.

Setelah 20 tahun lebih berlalu menikmati kesedihan kematian Jack, tiba-tiba muncul sekuelnya dengan judul "JACK'S BACK". Oh my god! Are you kidding me?

Entah karna latah atau gimana, kenapa film-film jadul yang bagus-bagus kok pada dibuatin sekuelnya ya? -_-

Yang sama kagetnya kayak aku ayok cung tangannya. Tadinya pas lagi buffering kepikiran buat review-nya, tapi setelah ditonton sampai selesai, biar kalian liat sendiri deh. Hahaha (ketawa jahat)

Link-nya ada di bawah ini ya.

 Titanic 2 - Jack's Back (2019 Trailer Remastered) 

Dan rasakan sensasinya saat ngeliat trailer-nya ^o^


Bawang Goreng Crispy ala rantie

Kemarin lagi kepengen stok-in Bawang Goreng. Tiba-tiba kepikiran buat dishare di sini. Selain resep aku juga bakal kasih beberapa tips anti gagal. Dijamin rasanya crispy dan tahan lama, bisa sampai 1-2 bulan lho.

Lets, check it out!

Bahan:
250 gr bawang merah
1 sdt garam halus 
1 sdm tepung maizena (optional)
1 liter minyak goreng

Cara Memasak + Tips ala aku:
1. Bawang merah yang udah dibuang kulitnya dicuci bersih dulu. Kemudian iris tipis-tipis, kalo matanya gak kuat pake alat juga boleh. Disini aku pake bawang merah lokal karna aromanya lebih wangi dan rasanya kuat. Bawang merah lokal ini ukurannya kecil sampai sedang dan warna kulitnya lebih merah. 

2. Setelah diiris masukkan dalam wadah kemudian taburi garam halus, aduk rata dan diamkan selama 15 menit. Menurut aku, 1 sdt garam udah pas, tapi kalo menurut kalian keasinan atau malah kurang asin, boleh pake takaran sendiri. Sesuai selera aja.

3. Lalu taburi tepung maizena, aduk rata dan diamkan lagi selama 15 menit. Tepung maizena ini optional aja sih, boleh pake boleh gak. Menurut aku lebih crunchy aja sih pake tepung, lagian aku makenya juga dikit sehingga rasa bawangnya tetap mendominasi. Takarannya juga sesuai selera ya.

4. Panaskan minyak goreng. Disini aku pakenya agak banyak, supaya bawangnya gak terlalu dekat dengan dasar wajan. Gunain api kecil aja ya. Setelah panas (jangan sampe over heat), masukkan bawangnya. Masukkinnya jangan banyak-banyak, secukupnya aja, aduk sebentar dan biarkan. Menggoreng bawang merah ini jangan terlalu banyak mengaduk. karna akan membuat bawangnya numpuk-numpuk, sehingga masaknya nanti gak rata.


5. Biarkan bawangnya merapung sampai berubah warna menjadi coklat muda. JANGAN PERNAH biarkan sampai jadi warna coklat ya, karna ketika diangkat dan disaring proses pemasakan sebenarnya masih terus berlangsung. Dan hal ini akan menyebabkan bawang  goreng kalian malah jadi gosong dan rasanya jadi yaiks, pahit!

6. Bawang goreng yang sudah diangkat didinginkan di atas kertas HVS supaya tidak terlalu berminyak. Setelah itu masukkan ke dalam toples biar gak masuk angin, hehehe


Gampang banget buatnya kan? Hal yang paling utama dibutuhkan dalam menggoreng bawang merah ini adalah "KESABARAN". Kenapa? Karna proses menunggunya kering menjadi warna coklat muda itu LAMA BANGET -_- 

Dijamin hasilnya maknyus dan renyah, asal caranya sama dengan aku ya, kalo cara yang lain aku gak jamin ^^

Happy cooking!


Wednesday, February 7, 2018

Walesi, Surga Kecilku (Late Post)

Lagi pengen posting tulisan jadul. Tepatnya aku nulis ini tanggal 14 februari 2015, beberapa hari setelah ulang tahunku yang ke 24. 


Walesi, Surga Kecilku

*Prolog        

Siapa sangka aku ‘kan sampai di ujung timur Indonesia. Mengabdikan diri mengajar anak-anak Walesi, Papua yang beragama muslim tak pernah terbesit sedikitpun di benakku. Hidup disini sangat jauh berbeda dengan tempat tinggalku di Pekanbaru, yang semuanya serba ada. Tapi dengan berada disini aku jadi lebih banyak belajar tentang hidup. Aku tidak hanya menjadi guru disini, tapi juga sebagai murid. Aku tidak hanya mengajar tapi juga belajar. Aku tidak hanya mendidik tapi juga dididik. Semakin hari aku semakin bertumbuh disini, dan berharap sepulang dari tempat ini aku punya bekal untuk menjalani masa depanku dan menjadi manusia yang lebih baik lagi. 

·         Semua bermula dari sini…
Aku mencoba mengingat kembali apa alasanku mengikuti tes SM-3T dan PPG yang diadakan oleh DIKTI. Aku tidak terlalu ingat kapan persisnya aku mengetahui program tersebut. Yang aku tahu saat itu aku masih menjadi mahasiswa, masih kuliah di kelas seperti biasanya. Aku tidak terlalu mendengarkan cerita dosenku hari itu karena berbagai hal menghinggapi pikiranku. Tapi mengetahui tentang program SM-3T, tujuanku setelah tamat nanti pun berubah, aku merasa memiliki mimpi baru.

Sejak masuk perkuliahan di pendidikan kimia, aku tak pernah memiliki mimpi akan menjadi guru yang bagaimana. Yang aku tahu, saat akan tamat SMA aku mengikuti keinginan orang tuaku, menjadi seorang guru. Profesi guru memang mulia, darinya lahir calon-calon pemimpin, penggerak dan pelopor kemajuan negeri ini. Jadi guru di era modern pun tak lagi sulit, gajinya jelas, uang tunjangan dan lain-lain pun ada. Jadi guru, kita bisa memiliki waktu yang cukup banyak bagi keluarga dibandingkan pegawai kantoran, ketika siswa libur, guru pun ikut libur. Semua hal positif ini menjadi wejangan orang tuaku saat aku akan memutuskan masa depanku. Aku memang suka berbagi ilmu, aku suka mengajar dan diajar, tapi untuk menjadi guru di sekolah, sedikitpun tak pernah terniat bahkan terbesit dipikiranku.

Seiring bergulirnya waktu, kucoba untuk merajut mimpi baru ini. Aku mengumpulkan kembali kepingan-kepingan semangatku untuk meneruskan langkah yang telah kupilih. Yaitu menjadi guru. Aku mulai belajar melihat kehidupan ini dari sudut pandang guru. Aku mulai banyak mencari tahu tentang pendidikan negeri ini. Aku berusaha mencontoh para pendahulu yang banyak berkorban demi pendidikan negeri ini. Aku mulai memaknai arti sekolah, tidak hanya bagi guru tapi juga bagi siswa. Sekolah bukan hanya tempat menuntut ilmu, bukan hanya tempat pelarian dari masalah, bukan hanya tempat mencari ijazah. Tapi lebih dari itu, disinilah semua mimpi dan cita anak-anak muncul, disinilah tempat cinta dan persahabatan bersemi, disinilah seseorang bisa turut andil dalam pertumbuhan dan perkembangan generasi baru menuju impian-impiannya.

Sebelum tamat aku sudah pernah terjun langsung menjadi guru di sekolah. Yaitu pada saat PPL 2 dan penelitian tugas akhir. Meskipun masih calon guru aku coba menerapkan dan mencari cara belajar mengajar yang baik menurutku. Aku mencoba berbaur dengan siswa-siswaku. Berbagi ilmu, berbagi cerita. Aku belajar ikhlas dan belajar tidak marah pada siswaku. Sekesal apapun hatiku, aku mencoba tetap menjaga ucapanku dan memilih diam daripada harus menyakiti perasaan siswaku. Karena aku tak suka guru yang jutek dan judes. Aku belajar merebut perhatian seluruh siswaku tanpa terkecuali. Karena aku tak suka guru yang pilih kasih. Aku melatih ingatanku untuk menghapal seluruh nama siswaku. Karena aku tak suka guru yang mengajarku tidak tahu namaku. Aku mencoba mengajarkan mereka untuk tidak malas dengan selalu memberikan tugas ataupun catatan, dan menghargai usaha mereka dengan selalu memeriksanya serta menilainya. Karena aku tak suka guru yang selalu memberikan tugas tapi lupa memeriksanya bahkan mengumpulkannya. Aku akan selalu memberikan kesempatan bagi yang mau berusaha dan berubah. Karena aku tak suka guru yang men-judge siswanya pasti tidak bisa. Aku akan selalu mendengarkan keluh kesah siswaku dan berusaha terus menjadi lebih baik. Karena aku hanya ingin menjadi guru yang baik bagi siswaku.

Jika hanya ingin menjadi seorang guru yang baik, haruskah mengikuti SM-3T? Sebenarnya tidak. Tapi saat itu bagiku "Ya" aku harus ikut SM-3T. Aku merasa aku perlu membekali diriku dengan menambah pengalaman mengajar di daerah 3T. Dari televisi, dari berbagai artikel, aku sudah melihat dan mendengar cukup banyak bagaimana pendidikan di negeri ini, terutama di daerah 3T. Pun sebagai anak bangsa, aku rasa aku belum pernah berbuat apa-apa untuk negeri ini. Dengan bekal yang kumiliki yaitu ijazah S1, setidaknya walaupun sedikit aku bisa turut andil mensukseskan program pemerintah ini. Mengabdi pada negeri ini. Aku tak mempersoalkan bagaimana kehidupanku disana nanti. Mau bagaimana gajinya, tempat tinggalnya, keamanannya, fasilitasnya, sungguh aku tak ambil pusing. Aku yakin pertolongan Allah akan senantiasa ada dimanapun aku berada. Lalu jika hanya begitu haruskah melalui SM-3T? Jawabannya lagi-lagi "Ya". Jika aku ingin mewujudkan keinginan-kenginanku ini aku tak punya pilihan lain selain SM-3T. Hanya dengan program ini aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku untuk mendukung inginku. Hanya dengan program ini aku bisa keluar dari rumahku tanpa membuat orang tuaku banyak khawatir.

·         Aku peserta SM-3T…


66 pejuang SM-3T dari Riau

Mona Hotel Plaza, disini aku bertemu wajah-wajah baru yang akan menjadi teman seperjuang, teman berbagi, teman senasib, tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai keluarga baruku. Kegiatan prakondisi yang diikuti sebanyak 60 peserta ini berlangsung dari tanggal 13-25 Agustus 2014. Kami adalah peserta SM-3T angkatan ke-III LPTK Universitas Riau dan angkatan IV Nasional. Disini aku menempati kamar hotel nomor 339 bersama Ningsih, Opi dan Nisa. Ningsih adalah alumni pendidikan biologi, sedangkan Opi dan Nisa adalah alumni pendidikan Matematika.

            Selama dilatih dan dididik disini banyak ilmu bermanfaat yang kami peroleh. Mulai dari pengetahuan tentang hukum, kependudukan, manajemen sekolah, kurikulum 2013, UKS, pramuka, wawasan kebangsaan dan ketahan malangan. Semakin hari kami dibuat semakin yakin dengan jalan yang kami pilih ini. Kami dibuat semakin siap untuk menghadapi apapun tantangan yang akan tiba nantinya. Baik saat berada di Kabupaten Belu, NTT maupun di Kabupaten Jayawijaya, Papua.
saat jadi ketua regu di kegiatan pramuka

 ditunjuk jadi danton sebelum berangkat ke Yonif 132

            Hal paling berkesan adalah saat kami dibawa ke Yonif 132 Wira Bima di Salo. Kami diajak berkeliling dan juga dilatih menembak dengan senapan SS1. Pertama kali dengar suara tembakan secara live rasanya memang deg-degan sekaligus menakutkan, tapi bukannya takut aku malah semangat pengen mencoba bagaimana rasanya menggunakan senapan. Tanpa ragu sedikitpun aku menjadi salah satu peserta perempuan pertama yang memegang senapan dan mencoba untuk menembak. KAmi masing-masing diberi kesempatan menembak sebanyak tiga kali. Rasanya super sekali!!! 


Selama prakondisi aku bisa melihat dan membaca berbagai alasan teman-temanku memilih mengabdikan diri di program SM-3T. Aku juga punya alasan tersendiri disini. Seperti salah satu quote yang ada dalam film UP yaitu "Adventure is out there", maka selagi aku muda aku mau membuat petualanganku sendiri, dan caranya aku harus keluar dari sini, maka inilah pilihanku SM-3T. Aku yang sejak dulu tak pernah jauh dari orang tuaku, yang biasa mendapatkan fasilitas lengkap apapun yang aku mau, yang hanya selalu berbicara tentang negeri ini tapi belum pernah melakukan aksi nyata apapun, akhirnya memutuskan untuk mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. Pergi jauh memberi sekaligus menimba ilmu dan mencari pengalaman hidup. Kabupaten Jayawijaya, Papua, I'm coming.

·         Welcome to Wamena
Senin, 28 Agustus 2014 hari terakhir melihat langsung senyum keluargaku, terutama ibuku. Aku tahu mereka sedih, tapi mereka tak punya pilihan selain mendukung keinginanku kali ini. Ini adalah perjalanan pertamaku tanpa mereka. Aku tak pernah pergi kemana-mana sendiri tanpa mereka. Tapi aku tak benar-benar sendiri, aku punya keluarga baru yang senasib denganku kini. Aku menguatkan hatiku untuk tak meneteskan airmata. Aku pergi untuk mengabdi pada negaraku, mengapa aku harus bersedih?

Kami tiba di bandara Sentani, Jayapura pukul 7 pagi. Penerbangan menuju Wamena sekitar jam 1 siang, artinya lagi-lagi kami harus menunggu di bandara. Bayangkan, untuk menuju Wamena kami harus tiga kali naik pesawat, ini perjalanan yang amat sangat melelahkan.


Pukul setengah dua kami pun tiba di bandara Wamena, turun dari pesawat kami langsung disambut dengan angin dingin. Tapi bandara disini tak seperti bandara sebagaimana biasanya, lebih seperti tempat "penampungan" menurutku. Turun dari pesawat kami langsung dibawa ke tempat menunggu barang. Lihat orang berkoteka? Hahaha, dari awal turun pesawat sudah kami sudah tersuguhi bapak-bapak berkoteka. 

Cuaca di Wamena sangat berbeda dengan Riau. Disini sangat dingin, untungnya aku sudah mempersiapkan senjataku, sleeping bag. Sebelum berangkat kesini kami memang sudah diberitahu oleh senior untuk mempersiapkannya. Kami menginap di asrama "SILIMO SILOAM" ini selama tiga hari bersama anak-anak SM-3T dari LPTK Universitas Mulawarman yang berjumlah 30 orang. Mereka tiba disini sehari lebih cepat dari kami. Selama disini aku tidur sekamar dengan Rani dan Kak Inda.

30 Agustus 2014, kami dipertemukan dengan kepala sekolah yang akan membawa kami ke tempat penugasan. MI Merasugun Asso Walesi, bersama Fatma peserta SM-3T dari UNMUL, aku akan memulai hari-hari baruku. Kata Pak Anwar, Kepala MI, selama setahun kami akan menempati rumah lamanya bersama dua orang guru SM-3T yang bertugas di YPPK Walesi, yaitu Fitri dan Erna. Fitri satu LPTK denganku, prodi Pendidikan Ekonomi. Erna satu LPTK dengan Fatma, prodi Pendidikan Biologi. Sedangkan Fatma sama denganku, prodi Pendidikan Kimia. Menurut cerita Pak Anwar tempat tinggal kami lumayan aman, listrik dan air lancar, dekat dengan mesjid dan pos tentara. Selepas ngobrol-ngobrol kami berempat langsung dibawa ke rumah Pak Anwar yang terletak di jalan Yos Sudarso.
foto bareng Pak Anwar, Kepsek MI

Keesokkan harinya kami berempat belanja bahan makanan, karena mengingat tempat tinggal kami akan jauh dari kota. Bertepatan dengan hari Minggu, maka kami pun belanja siang hari. Kenapa? Ada keunikan tersendiri di kota Wamena ini, hari Minggu dikenal sebagai Hari Tuhan, karena hari Minggu adalah hari ibadah bagi umat kristiani, sehingga untuk menghormati hari ibadah ini warga tidak boleh melakukan aktifitas apapun dari pagi sampai siang selain ibadah di gereja. Hal yang paling mencengangkan lainnya disini adalah harga-harganya yang mahalnya luar biasa. Harga semua barang di Wamena bisa dua sampai tiga kali lipat mahalnya, alasan klasik yang selalu diucapkan para pedagang adalah karena barang-barang naik pesawat.

·         Here I am…

Hujan turun pada pagi 1 September, walaupun begitu kami tetap semangat untuk bersiap-siap, karena ini adalah hari penyerahan peserta SM-3T dari LPTK kepada Pemda Kabupaten Jayawijaya. Kami juga diberitahu sebelumnya bahwa setelah acara masing-masing kami akan dijemput kepala sekolah untuk diantar ke distrik-distrik tempat kami bertugas selama setahun.

Benar saja, setelah acara, aku dan tiga teman lain yang ditugaskan ke Distrik Walesi dijemput oleh Pak Anwar Mas’ud, S.Ag Kepala Sekolah MI Merasugun Asso Walesi. Diantara seluruh peserta SM-3T Kabupaten Jayawijaya, kami adalah peserta pertama yang dijemput. Perjalanan menuju distrik Walesi disuguhi dengan hamparan hijau pegunungan yang indah, semua serba hijau dengan langit yang membentang biru berarakkan awan-awan putih. Indah sekali. Kesan pertamaku ketika tiba di Walesi adalah, ternyata Walesi lebih dingin daripada kota Wamena.

Alhamdulillah disini kami diberikan rumah yang nyaman dengan fasilitas lengkap, selain itu listrik dan air juga sangat lancar. Rumah bercat biru inilah yang menjadi rumah kami berempat selama lebih kurang satu tahun. Dibelakang rumah ada pos tentara Walesi sedangkan di sebelah kanan rumah ada mesjid Al-Aqso. Sekolah MI dan MTs Merasugun Asso terletak di depan mesjid, selain itu ada juga pondok pesantren Al-Istiqomah yang seluruh santrinya juga bersekolah disini. Dari belakang mesjid ini kita bisa melihat jelas kota Wamena, yang kalau malam tiba akan terlihat lampu-lampu kota Wamena berkelap-kelip indah.

Awalnya kukira aku hanya akan mengajar di MI. Ternyata disini aku juga akan mengajar di pesantren dan MTs. Kepala Sekolah MI Merasugun Asso Walesi adalah Pak Anwar Mas’ud, S.Ag, sekolah ini memiliki enam orang guru, dengan satu orang PNS yaitu Pak Sumadi dan lima lainnya adalah honorer. Diantara kelima guru honorer ini, tiga orang merupakan ustad di Pesantren, yaitu Ustad Mahmudi, Ustad Baidi dan Ustad Abdurrohim. Kemudian ada ibu Arianti, S.Pd.I sebagai guru bidang studi agama dan Ibu Aminah Yelipele, seorang guru pribumi yang direkrut mengajar kelas 1 untuk memudahkan dalam pengajaran bahasa Indonesia. Sedangkan guru di MTs sebenarnya belum ada, hanya ada kepala sekolah, itupun sedang tidak berada di tempat karena sedang melaksanakan ibadah Haji. Kelas untuk MTs memang baru dibuka tahun ini, sehingga tenaga pengajarnya berasal dari guru-guru MI ditambah dua orang guru sukarela yaitu Pak Taha dan Pak Rudi. Dengan hadirnya aku dan Fatma, kebutuhan guru di MI dan MTs ini pun cukup terpenuhi.

Di sekolah MI aku dipercaya menjadi wali kelas IV dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum, sedangkan di MTs aku ditunjuk sebagai guru bidang studi Bahasa Inggris. Aku dan Fatma bekerja sama untuk meningkatkan gairah dan semangat siswa melalui beberapa kegiatan. Selama di Walesi aku tidak hanya sibuk dengan kegiatan sekolah dan pesantren. Pada sore hari sesekali aku ikut berolahraga bersama anak-anak, ikut nonton maksudnya hehe. Disini ada dua lapangan, yaitu lapangan voli dan bola kaki, kedua lapangan ini selalu ramai baik oleh laki-laki maupun perempuan. Pada dasarnya aku ini malas sekali berolahraga, tapi demi anak-anak aku pun mau, lagi-lagi mau nonton maksudnya, haha

Masyarakat Walesi sangat ramah, setiap bertemu mereka akan selalu menyapa dengan kata “La Ok” yang berarti salam. Kami juga sering mendapatkan kiriman sayur mayur dan “Hipere” atau ubi rambat. Meskipun mayoritas beragama islam, tetapi masyarakat masih berternak “wam” atau babi. Hal ini dikarenakan masyarakat masih belum bisa meninggalkan adat istiadat mereka yang apabila menikah harus menyiapkan babi, dan juga untuk denda damai jika terjadi konflik. Masyarakat disini kebanyakan masih tinggal di dalam honai, rumah adat khas Papua, sedangkan memasak disini dikenal istilah bakar batu. Selain dari warga, kami juga sering mendapatkan kiriman makanan dari pesantren, terutama dari Pak Sumadi, kepala asrama pesantren. Bapak ini sangat baik dan sudah kami anggap seperti orang tua sendiri.

·         My First Time…
2 September 2014, pertama kali aku mengajar kelas IV, saat mengajar disini awalnya biasa saja. Tapi, menjelang istirahat tiba-tiba “anak-anakku” mengajakku naik gunung untuk melihat bendera merah putih. Gunung Pesali, gunung ini terletak di belakang sekolah. Ini adalah pengalaman pertamaku mendaki, gunung ini sebenarnya tidak terlalu tinggi, mungkin lebih tepat disebut bukit, tapi untuk pemula sepertiku pendakian perdana ini bikin aku sampai ngos-ngosan.  Anak-anak sampai khawatir melihat aku hampir pingsan. Salah seorang anak lari-lari turun gunung mengambilkan botol air minum. Bu gurunya ngerepotin yak, hehe. Sesampainya disana aku mengajak anak-anakku untuk hormat pada bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku berharap anak-anakku akan tumbuh menjadi anak-anak yang cinta pada tanah airnya. Anak-anak yang akan menjadi generasi emas bangsa ini.

Di sekolah kami juga mengaktifkan kembali kegiatan Upacara Senin pagi dengan melatih siswa-siswa setiap hari sabtu. Pertama kali melatih anak-anak latihan upacara cukup sulit. Karna anak-anak udah lupa bagaimana upacara. Untung kami dibantu beberapa anggota tentara. Kami juga mengaktifkan kembali perpustakaan, membuat dan mengisi mading sekolah bersama siswa. Hal ini diharapkan agar siswa memiliki kegiatan lain selain belajar  sehingga siswa tidak jenuh dan semangat bersekolah, serta untuk meningkatkan rasa kebersamaan antara kami dan para siswa. 

latihan upacara perdana

Yusri, Dewi, Ani, Nigina dan Jannah, pengunjung setia perpustakaan

kegiatan olahraga di sore hari,
meskipun paling kecil, aimo gak bisa dipandang sebelah mata

mading kelas karya kelas IV, anak-anak hebatku

kolaborasi hasil karya anak-anak dan bu gurunya,
jadi makin cantik kena sihir bu guru Fatma

       Berbeda dengan distrik lainnya, di Walesi selain mengajar di sekolah kami juga ikut mengajar para santri mengaji di mesjid. Walesi dikenal sebagai perkampungan muslim terbesar di Papua. Walesi sering disorot beberapa kali oleh televisi swasta dan beberapa majalah islam. Aku sendiri banyak mengucap puji syukur melihat anak-anak Papua mengenakan jilbab, begitu pula saat pertama kali mendengar salawat yang dilafazkan oleh salah seorang santri di mesjid. Kegiatan mengaji dilaksanakan pada ba’da subuh, ashar, dan maghrib. Selain mengaji, juga ada kegiatan belajar malam, aku dan teman-teman juga ikut mengajar bersama para ustad dan guru-guru lainnya. Perlu diketahui, sebelumnya aku tak pernah mengajar mengaji di mesjid manapun, jadi ini adalah pertama kalinya bagiku. Jadi ustadzah dadakan aku disini, haha. Hal berbeda yang kurasakan lainnya adalah, disini setelah azan, anak-anak akan bersalawat. Kemudian sebelum shalat anak-anak akan membaca dua kalimat syahadat dan niat shalat secara berjemaah. Lalu setiap malam selasa akan dilaksanakan praktek shalat dan malam jum’at akan dilaksanakan yasinan


mesjid Al-aqsho, pusat kegiatan santri

Disini juga untuk pertama kalinya aku merayakan Hari Raya Idul Adha di tanah Papua. Hal yang paling membahagiakan adalah aku dapat merayakannya bersama keluargaku SM-3T LPTK Universitas Riau. Kami sampai urunan supaya bisa ikut menyumbangkan seekor sapi. Selama beberapa hari menjelang hari qurban aku bersama anak-anak sibuk mencari rumput untuk makan sapi. 
Pada hari raya qurban hal unik yang takkan kita temukan di mesjid manapun adalah mendengar khutbah dalam bahasa Indonesia dicampur bahasa Papua.
          
·         They are the Inspiration 
kesayangan bu guru Ranti

     Selama ini aku hanya menjadi guru bidang studi Kimia. Tak pernah terfikirkan aku akan menjadi seorang wali kelas, MI pula. Menghadapi anak SD/MI tidak sama caranya dengan menghadapi anak-anak SMA. Mereka masih polos, suka bermain, dan kadang-kadang ulahnya bikin garuk-garuk kepala. Aku sempat kewalahan menghadapi mereka, tapi aku berusaha untuk sabar dan mencoba memahami mereka. Aku mengajar enam orang siswa di kelas 4 yang harusnya tujuh orang. Karena Rudi Yelipele hanya hadir 1-2 kali kemudian memilih berhenti dan membantu orang tua. Keenam lainnya adalah Aimo, Ani, Dewi, Yusri, Rohim dan Rian. Mereka semua mempunyai fam “asso”. Fam itu sama dengan marga seperti orang Bataklah kira-kira. Karena mereka semua ber-fam asso, aku pun diberikan fam asso pula oleh mereka. Jadilah namaku Ranti Asso disini. 

     Anak-anakku sangat suka pelajaran matematika, menggambar dan olahraga. Untuk pelajaran yang lain aku harus pakai trik supaya mereka bisa duduk tenang dan memperhatikan pelajaran. Semua siswaku sudah mengenal huruf dan bisa membaca. Diantara keenam siswaku, Ani adalah yang terpintar dan paling rajin, sedangkan Rian adalah yang paling lemah dan malas baca. Rian sudah bisa membaca sedikit, tapi masih sangat lambat dan sering mengeja dulu saat membaca. Aku sampai harus duduk di sebelahnya supaya dia tidak lari dan menyelesaikan tugas membacanya.

rian yang slalu dapat belajar baca tambahan diluar jam kelas

disaat teman-teman lain gambar yang unik-unik,
Rohim jadi yang paling unik dan simple, bendera Merah Putih

sebenarnya udah jam istirahat, tapi aimo minta penjelasan tambahan,
ujung-ujungnya semua ikut dengerin

dewi buat kincir-kincir di jam prakarya

belajar diluar kelas asik juga

            Anak-anakku yang perempuan sangat suka memberiku bunga. Hampir setiap hari ada saja yang datang ke rumah mengantarkan bunga. Pernah waktu itu hari pertama ujian aku dibuat pusing karena Dewi dan Aimo menghilang dari kelas, ternyata mereka pergi ke kolam mencari bunga. Tanpa merasa bersalah apalagi takut dimarahi, mereka lari-lari ke arahku, dengan napas yang masih terengah-engah mereka bilang, "selamat hari guru bu guru Ranti". Ya ampun aku sampai speechless dengan kelakuan mereka ini. Siapa yang bisa marah kalo anak-anaknya tulus begini ^^

"selamat hari guru bu guru Ranti"


            Meskipun terkadang mereka berulah dan susah dinasehati, tapi perlakuan mereka yang tiba-tiba menunjukkan rasa kasih sayangnya membuatku luluh dan semakin kuat untuk bertahan disini sampai tugas dan tujuanku untuk berusaha merubah mereka menjadi sedikit lebih baik tercapai. Meskipun kadang aku harus "makan hati" karena tingkah laku mereka, haha. Meskipun mereka muslim minoritas, tapi rasa percaya diri mereka saat mengenakan jilbab kemana-mana dan pergi shalat ke mesjid membuatku terharu dan berusaha menjadi lebih baik agar bisa menjadi panutan bagi mereka. Aku sadar sebagai guru aku tak sempurna, tapi disini aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk mereka, karena mereka adalah sumber inspirasiku untuk terus bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
***


Tiga setengah tahun berlalu begitu saja laksana air mengalir. Aku dirundung rindu pada bau basah pagi  di Walesi, rindu pada riuh tawa anak-anakku yang kini sudah beranjak remaja. Nak, apa kabar? Bagaimana sekolah kalian? Harus tetap rajin shalat ya.

My Featured Post

Si unik Kapur Barus

Sejarah Kapur Barus Kapur Barus sudah bukan lagi barang aneh dalam kehidupan kita. Hal ini selain karena pemanfaatannya juga dikarenaka...