Part 3
Namanya Syofian. Aku kenal dia kelas tiga SMA. Sebenarnya aku pernah beberapa kali bertemu dengannya, tapi mungkin seperti itulah takdir kami. Kami saling mengenal dan menjalin rasa. Aku masih bisa mengingat jelas awal mula semuanya. Hari itu aku mendengar curhatan sahabatku yang sedang dilanda kegalauan pada hubungannya dengan pacarnya. Pacarnya pun adalah sahabatku. Dia juga menceritakan tentang cinta pertamanya, Syofian. Dia ingin aku mencari kembali cinta pertamanya itu. Dari ceritanya aku dapat melihat bahwa di matanya masih ada harapan untuk cinta pertamanya itu,. Di satu sisi aku mengerti perasaan itu, karena aku pun pernah mengalaminya, tapi di sisi lainnya jika aku membantunya sama saja artinya aku turut andil menghancurkan hubungan mereka dengan menghadirkan kembali Syofian. Tapi aku tak punya pilihan selain mengiyakan permintaannya sambil berfikir langkah apa yang harus aku ambil selanjutnya.
Syofian adalah murid sekolah sebelah. Kebetulan aku punya teman juga disana yang dudlunya adalah teman sekelasku dan baik juga padaku. Darinya aku mendapatkan nomor Syofian. Lama aku memikirkan untuk memberikan nomor itu pada sahabatku atau tidak. Tiba-tiba ide gila terlintas di benakku. Aku ikut serta dalam kisah mereka bertiga. Aku mengirimkan sms yang berisi nomor Syofian untuk sahabatku dan sms untuk Syofian. Ya aku mengajaknya berkenalan. Aku bertindak nekat dan agresif. Diam-diam dibelakang sahabatku aku mendekati cinta pertamanya. Aku melakukan ini semata-mata hanya untuk menyelamatkan hubungannya dan menyadarkannya bahwa jalan yang diambilnya salah.
Untuk pertama kalinya aku mengirimkan sms sok akrab gitu pada orang yang belum kukenal. Bukan satu dua kali, tapi berkali-kali, setiap hari. Anehnya dia pun meladeni sms-ku, dan aku menikmatinya. Semakin lama sms-sms itu berlanjut menjadi telpon-telponan, tapi kami sama sekali tak pernah bertemu.
Suatu hari aku menginap di rumah temanku karena orang tuanya tidak di rumah dan esoknya kami harus pergi ke Pekanbaru untuk ikut Olimpiade Kimia 6 di Universitas Riau. Saat berbelanja di mini market untuk jajan di perjalanan aku bertemu Syofian. Kami hanya saling pandang. Antara terkejut dan meragu aku langsung mengalihkan pandanganku dan sibuk dengan belanjaanku. Itulah pertemuan pertama kami sejak hubungan via phone.
Hubungan kami mulai tak wajar. Dia sudah berani menunjukkan perhatiannya. Dia bilang sayang padaku. Rindu padaku. Bahkan memanggilku Neng dan dirinya sendiri Akang. Dan aku menikmati semua itu. Hubungan kami memasuki status "Teman Tapi Mesra". Aku sadar pada apa yang kulakukan, sehingga aku merahasiakan hubungan kami dari semua orang termasuk sahabat-sahabatku. Aku tak pernah lagi membiarkan mereka menyentuh handphone-ku. Sedangkan pada Syofian akhirnya aku jujur tentang tujuan awal aku mendekatinya, tapi mungkin karena rasa sayangnya padaku, ia tak peduli dan baginya yang terpenting adalah yang sekarang. Dia juga mengatakan bahwa tak pernah ada apa-apa antara dia dan sahabatku. Mereka memang dekat tapi itu dulu, dan tak lebih dari sebatas teman. Kami pun semakin dekat. Kami akhirnya jalan berdua, aku mulai mengijinkannya main ke rumahku, kami bahkan makan siang bareng. Karena hubungan yang sudah semakin jauh, akhirnya kami pacaran. Dia bahkan membelikanku eskrim pasca kami jadian. Dia juga mengenalkanku pada teman-temannya.
Di sekolah aku diinterogasi teman-temanku. Semua pada kaget karena tiba-tiba aku udah jadian aja dengan Syofian. Aku mengaku pada semuanya, tapi pada sahabatku aku hanya bisa mengetikkan sms dan meminta maaf. Dia bilang tidak apa-apa dan sudah mengetahui sejak awal karena tahu dari Syofian. Walaupun perasaan bersalahku begitu besar tapi aku meneruskan pilihan yang kuambil, karena aku bahagia bersama Syofian.
Hubungan kami berjalan normal seperti pasangan-pasangan lainnya dan kami bahagia. Sampai akhirnya aku sendiri yang mengakhiri hubungan manis itu.
Saat itu kami sudah kuliah. Hubungan kami sudah terjalin hampir satu tahun. Meskipun kuliah di Universitas yang sama tapi kami malah jarang bertemu. Aku sibuk dan dia sibuk. Disaat aku butuh, dia tak ada. Begitupun sebaliknya. Berkali-kali aku dan dia melakukan hal-hal untuk memperbaiki kerenggangan kami, tapi yang terjadi adalah keegoan lebih menguasai diri kami. Saat itu aku selalu merasa aku yang benar. Aku selalu mudah marah dan menangis. Dan seseorang masuk dalam hubungan kami. Dia memberikan perhatian yang saat itu aku rasa tak pernah lagi kudapatkan dari Syofian. Aku terjebak pada situasi dimana aku tak bisa berfikir jernih. Berkali-kali aku berusaha menyadarkan diri, karena Syofian tahu. Syofian memang tidak marah, tapi itu hanya membuatku semakin kesal karena merasa dia tak peduli. Aku merasa hanya aku yang bertahan dan berusaha keras disini menjaga hubungan kami tetap berjalan sekuat apapun godaan. Ketika aku berhasil membuat si orang ketiga itu menjauh dari kami dan hubungan kami membaik, saat itu pulalah kami malah putus. Karena hal sepele yang tak dapat kuingat apa itu, aku marah besar dan mengucapkan kata-kata pisah. Aku menangis sejadi-jadinya dan sempat menyesal atas tindakanku, hubungan kami berakhir di satu tahun dua bulan dua hari. Syofian menerima keputusanku dan menghilang dari kehidupanku. Aku kacau. Aku hilang arah. Tapi gengsiku lebih besar, aku merasa akulah yang benar. Aku merasa seharusnya Syofian mencariku, mempertahankanku. Aku menghubungi kembali si orang ketiga. Aku memberikannya kesempatan. Aku menjadikannya pelarian, aku merasa aku bisa melepaskan beban tangisku dan melupakan semuanya.
Tapi ketenangan itu fana. Ketika aku mulai bisa berfikir jernih aku sadar tindakanku salah. Aku mulai menjauhinya dan akhirnya memutuskannya. Aku takkan bisa melupakan Syofian dengan cara ini.
Dua tahun lebih berlalu. Takdir mempertemukan kami lagi saat aku memutuskan pindah kost di depan kost Syofian. Aku menghubunginya kembali. Aku mencoba kembali padanya, berkali-kali. Aku tahu dia masih peduli padaku, karena saat aku sakit dia mau menemaniku ke dokter. Tapi kepedulian saja memang tak cukup untuk meyakinkan dirinya itu karena cinta. Kami akhirnya menempuh jalan kami masing-masing. Meski aku terluka awalnya, tapi aku menerima keputusannya. Saat itu aku yakin pasti karena sudah seseorang yang berhasil mengisi kekosongan itu. Aku terlambat. Terlambat untuk menjelaskan, terlambat untuk kembali. Tak lama setelah beberapa bulan dia akhirnya jadian dengan seseorang. Aku mendoakan yang terbaik untuknya karena aku yakin aku akan menemukan seseorang ^_^
Hikmah : Berhati-hatilah pada hatimu sendiri, seringkali kita tertipu dan tidak menyadari ketika ego menguasai. Dan saat nasi telah menjadi bubur, tak ada yang dapat kita lakukan selain menerima kenyataan.