Friday, December 30, 2011

“YANG KEMBALI”

Untuk kesekian kalinya aku menatap langit yang terlihat semakin tak bersahabat. Ah, kenapa dia belum datang juga ya? Haruskah kali ini aku juga kecewa?  Tak ubahnya seperti tahun-tahun sebelumnya.  Hmm… aku harus segera pulang, aku tak ingin Bunda mengkhawatirkanku.
Cepat-cepat aku berjalan meninggalkan tempat itu. Ada sakit yang kurasakan. Tak ada yang berubah, luka itu masih sama. Wah, gawat ! Sudah mulai gerimis. Sepertinya aku harus berteduh di warung makan itu. Hmm… warung yang sama. Aduh, apa sih yang kufikirkan? Lupakan. Lupakan. Lupakan. Seharusnya aku sudah kuat. Karena ini sudah tiga tahun berlalu. Hujan pun turun begitu deras, mengiringi setiap kenangan masa lalu yang kini mulai kembali dalam benak. Aku benci terlihat lemah seperti ini.
“Mikirin apa sih?” sebuah suara menyadarkanku segera. Aku hanya menatap sebal padanya. Inikan bukan  urusannya.
“Kerutan dahimu bikin kamu jadi tambah jelek tau”, ia masih saja tetap mengoceh, tapi aku juga tetap tak menggubrisnya. Tiba-tiba ia beranjak pergi, baguslah. Pengacau itu pergi. Aku kembali sibuk dengan pikiranku sendiri tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarku yang juga ikut berteduh. Uh, dingin sekali. Tapi hatiku terasa lebih dingin. Kerinduan ini melukaiku.
“Nih, minum dulu biar rada hangat” tiba-tiba ia kembali sembari menyodorkan segelas teh panas padaku. Aku tetap saja diam melihatnya. Apa sih mau orang ini?
“Ayo diambil. Ga’ usah malu-malu kali”,ia masih tetap berusaha mengajakku bicara. Kenapa sih dia tidak mengerti kalau aku tak ingin diganggu olehnya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya aku pun menyerah.
“Maaf. Aku sedang ingin sendiri”
“Jangan memaksakan diri untuk menyendiri. Itu terasa lebih menyakitkan tau. Sekarang minum dulu. Mungkin akan terasa lebih baik”
“Jangan mencoba untuk mengajariku. Aku tau apa yang harus aku lakukan”,akhirnya segera ku akhiri pembicaraan yang menyebalkan ini. Aku segera pergi dari warung itu. Aku merasa lebih baik terkena jatuhan air hujan daripada berdebat hal yang tidak perlu dengannya.
***
Hujan benar-benar tega padaku. Ia turun semakin deras. Aku tetap berjalan dibawahnya. Aku basah kuyup. Tapi aku tak peduli. Kata-kata orang tadi terngiang-ngiang ditelinga. Siapa bilang aku memaksakan diriku sendiri, hingga aku lebih menyakiti diriku. Dasar sok tau. Akhirnya rumahku sudah terlihat di ujung jalan ini. Sebentar lagi aku bisa menenangkan diriku disana. Satu-satunya tempat terbaik di dunia ini ketika aku merasa sedih dan bimbang.
Bunda berdiri di ambang pintu. Ia hanya menatap khawatir ketika aku membuka pagar untuk masuk. Aku harus terlihat biasa-biasa saja. Aku segera menghampiri Bunda.
“Assalamu’alaikum Bunda” kataku santai sambil menyalaminya.
“Wa’alaikumsalam. Darimana kamu, Sayang?"
“Maaf Bunda, tadi jalan-jalan sebentar, eh kehujanan deh”,ujarku sambil memamerkan senyum nakalku.                
“Ya sudah, masuk dulu. Langsung mandi, nanti malah demam”
“Beres bos, hehe…” kataku sambil berjalan cepat masuk ke dalam. Jangan sampai Bunda bertanya yang macam-macam.
“Kamu ga’ kesana lagi kan Cha?” akhirnya pertanyaan yang tak ingin kudengar itu keluar juga. Aku menoleh. Aku hanya menatap sedih pada Bunda. Aku tak pernah bisa berpura-pura di depan Bunda. Bunda mendekatiku. Aku diam tak berkutik dari tempat kuberdiri. Perih sekali luka ini.
“Icha kan anak Bunda yang paling kuat di dunia ini. Icha pasti bisa kok ngelewati ini semua” ujar Bunda sambil memelukku. Aku merasa teduh. Tapi air mata ini akhirnya jatuh juga.
“Tapi Icha selalu gagal untuk berdiri tegak dari kenyataan ini Bunda. Icha ga’ kuat Bunda” luka ini tak pernah benar-benar sembuh, Bunda. Maafin Icha.
“Jangan nangis lagi ya Sayang. Icha sayang kan ma Bunda?” aku hanya mengangguk perlahan. Kuusap air mata ini. Kutatap wajah Bunda yang terlihat sedih karenaku.
“Icha masuk kamar ya Bunda. Cha mau mandi” aku tak tahan dengan suasana seperti ini. Tanpa menunggu persetujuan dari Bunda aku segera berlalu. Tapi aku yakin Bunda pasti mengerti.
Aku kini terperangkap oleh kesepian yang kuciptakan sendiri. Pedih. Tapi aku harus bertahan. Tes…Tes…Tes… Dasar bodoh kamu Icha! Kamu ga’ boleh nangis tau! Kamu ga’ boleh lemah! Air mata itu tak ada gunanya! Makiku dalam hati. Cepat-cepat kuhapus deraian air mata ini. Jangan sampai ada yang melihat diriku menjadi selemah ini. Aku tak mau dunia menertawakan kebodohanku ini. Ya Allah…bantu hamba yang hina ini…berikan hamba petunjuk…permudahlah hamba dalam melewati ujian-Mu ini…Amiin. Segera ku ambil air wudhu. Aku mau shalat ashar. Kuseka lagi air mata ini. Aku harus kuat. Dan harus selalu kuat.
***
            Pagi ini udara terasa benar-benar menyehatkan. Kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar, menghirup udara segar yang diberikan oleh Tuhan. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.
“Assalamu’alaikum Kak Icha”
“Eh, Wa’alaikumsalam Nisa. Nisa jalan pagi juga ya?”
“Iya, Kak. Kan bagus buat  kesehatan,he..he.. Kok sendirian Kak?”
“Lagi pengen aja, kamu sendiri?”
“Nisa emang biasa sendirian aja Kak… Kakak kemarin kemana? Nisa liat Tante berjam-jam di depan rumah nungguin Kakak pulang, kasian Tante, Kak…”
“Iya, ada urusan sebentar. Kakak lupa bilang ma Bunda kalo pulang nya agak telat,he..he..”
“Ooh…”
Akhirnya kami saling diam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku tahu aku berbohong…tapi aku tak bisa bilang kemana aku pergi, karena aku tak pernah punya alasan yang tepat untuk kesana… Takkan ada yang kembali… Ya, takkan ada… Kecuali luka.
“Kakak kok kelihatan sedih? Cerita dong ma Nisa. Mana tau Nisa bisa bantu… Ya, walaupun Nisa masih kecil dan ga’ ngerti urusan orang gede, tapi Nisa bisa jadi pendengar yang baek lho”
“Ah, kamu ini kecil-kecil udah sok tau…Kak Icha ga’ lagi sedih kok, biasa aja”
“Ya udah ya Kak, Nisa pulang duluan ya”
“Iya…”
Kulihat Nisa masuk rumahnya dengan wajah penuh sukacita. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, seolah jantungku digenggam dengan kuat. Hmm, rasa sakit ini kembali lagi. Airmataku pun menetes dengan sukacita.Ayah...
***
Malam tanpa bintang terasa menyakitkan. Ga’ tau apa kalo aku disini kesepian. Tiba-tiba seseorang menghampiriku. Aku yakin itu pasti Bunda. Hm, siapa lagi yang memperhatikanku selain dia. Tapi, aku tetap menunduk, pura-pura tak menyadari kehadirannya.
“Sayang, makan malamnya udah siap tuh”, sapa Bunda sembari memeluk pundakku.
“Iya, Bunda. Sebentar lagi ya, Cha masih pengen disini dulu”
“Hmm…”
“Bunda…”
“Ya Cha, kenapa?”
“Salah ya kalau Cha masih tetap seperti ini?”
“Cha, Bunda paling mengerti apa yang kamu rasakan saat ini. Bahkan Bunda lebih sangat bersedih dibuatnya. Dan ketika melihat kamu seperti ini Bunda jadi lebih terluka dan bersedih, ini tak bisa kita biarkan berlarut-larut. Sebagai seorang wanita, ketika menghadapi suatu masalah sudah sepatutnya kita tumbuh menjadi lebih tabah dan tegar. Wanita memang terlihat rapuh diluar, tapi ia sebenarnya sangat tangguh”,ujar Bunda sembari menguatkanku.
“Cha tau Nda, berulang kali Cha berusaha membuka lembaran baru tapi lembaran lama masih terus membayangi. Cha masih belum bisa menerima semua ini. Ini ga’ adil”
Bunda hanya memelukku dengan sangat erat. Seolah tak akan pernah membiarkan aku pergi atau melakukan hal-hal bodoh. Sebenarnya aku sadar, tapi hatiku benar-benar tak bisa menerima semua kenyatan ini. Kenyataan bahwa Ayah benar-benar takkan kembali...kecuali kenangannya. Kamu harus ikhlas Cha...harus sabar...kasian Bunda. Orang yang paling terpukul akan keadaan ini.
Sepintas kejadian tiga tahun yang lalu kembali ke dalam benakku. Hari itu pagi terlihat sangat cerah. Aku dan Bunda sibuk membantu Ayah berkemas-kemas, karena Ayah harus segera berangkat ke Jakarta untuk urusan perusahaan. Waktu berjalan dengan sangat cepat. Ketika di bandara, sebelum ke toilet Ayah menitipkan jam tangan kesayangannya padaku. Tak ada firasat apa-apa. Semuanya berjalan dengan normal.
Dari balik kaca kulihat pesawat ayah telah mengudara dengan bebas. Saat berbalik untuk pulang hp-ku berbunyi, ketika akan mengeluarkan hp tiba-tiba jam tangan ayah keluar dari sakuku dan terjatuh dengan mudahnya. Ah, ayah lupa lagi dengan jam tangannya. Baru saja aku akan memungutnya,tiba-tiba... Duaaaaaarrrh!!! Suara yang menggelegar itu berasal dari luar. Kaca-kaca terdengar retak.  Spontan aku berbalik. Dan kudapati pesawat itu telah meledak, hangus terbakar di udara. Pesawat itu, pesawat ayah. Bunda berteriak sangat histeris dan menangis sejadi-jadinya, sedangkan aku hanya terdiam menatap kejadian itu dari balik kaca. Kakiku linu, tubuhku menegang kaku. Semua jadi hitam.
Sampai saat ini tersangka pelaku pengeboman pesawat yang ditumpangi ayah masih belum ditemukan. Dan setiap tahun, di tanggal yang sama, aku selalu pergi ke bandara, berharap kulihat ayah akan pulang. Kunanti dan kunanti, ayah pasti akan kembali, itulah kata-kata penyemangatku. Selalu seperti orang bodoh. Aku tak peduli meskipun pada kenyataannya takkan ada yang benar-benar kembali. Selain rasa sakit akan kehilangan.
***

No comments:

Post a Comment

My Featured Post

Si unik Kapur Barus

Sejarah Kapur Barus Kapur Barus sudah bukan lagi barang aneh dalam kehidupan kita. Hal ini selain karena pemanfaatannya juga dikarenaka...